Orang Tua Pelajar dari OKI Tempuh 15 Jam ke Bandung, Titipkan Anak ke Barak Militer KDM

Kayuagung – Perjalanan sepanjang 800 kilometer dari Kayu Agung, Ogan Komering Ilir (OKI), Sumatera Selatan, menuju Bandung, Jawa Barat, ditempuh pasangan suami istri ini tanpa ragu. Bukan untuk liburan, melainkan untuk menyelamatkan masa depan anak mereka yang terjerat narkoba.

BH dan istrinya—yang diketahui berprofesi sebagai guru sekolah dasar—datang jauh-jauh ke Jawa Barat untuk bertemu langsung dengan tokoh publik Dedi Mulyadi. Mereka membawa serta anak laki-lakinya, seorang pelajar SMK kelas 10 jurusan teknik perbengkelan, yang mengaku telah menggunakan sabu sejak kelas satu.

“Kami datang dengan penuh kesadaran. Kami titipkan anak kami secara sukarela ke barak pelatihan,” ujar BH dengan suara lirih di hadapan Dedi Mulyadi, seperti disiarkan melalui kanal Kang Dedi Mulyadi Channel di YouTube pada Jum’at (30/5/2025).

Saat ditanya langsung oleh Dedi Mulyadi, pelajar tersebut mengakui telah mengonsumsi sabu bersama teman-temannya. Ia mengaku mulai mengenal barang haram itu sejak duduk di kelas satu SMK.

“Uangnya dari mana?” tanya Dedi.

“Dikasih orang tua Rp25 ribu, terus saya bohongin bilang buat tugas sekolah, minta tambahan. Bisa dapat Rp75 ribu,” ujar sang anak.

Ia menyebut, dalam sekali pakai, bisa menghabiskan hingga Rp100 ribu untuk 1,5 gram sabu.

Kini, sudah satu minggu pelajar itu tidak lagi menggunakan sabu. Meski begitu, ia masih merasa lingkungan pergaulannya tidak sehat dan ingin segera pindah agar bisa sembuh total.

“Saya gak mau balik, mau tinggal di sini aja. Masuk barak, setuju?” tanya Dedi.
“Setuju, saya ingin sembuh,” jawab sang anak.

Kisah ini menjadi ironi tersendiri. Ibunya seorang guru SD. Kakaknya adalah anggota TNI dan ASN. Tapi anak bungsu mereka justru terjerumus narkoba.

“Lingkungan kami kurang sehat, Pak. Kami sudah tidak sanggup. Kami ingin anak kami sembuh dan hidup normal kembali,” ujar BH.

Mendengar hal itu, Dedi Mulyadi menegaskan bahwa anak tersebut bisa masuk barak militer, namun dengan satu syarat: jika kabur atau melanggar aturan, itu menjadi tanggung jawab pribadi.

“Nanti buat surat pernyataan ya. Kalau kabur atau melanggar, itu tanggung jawab anak dan orang tua. Jangan salahkan saya,” ujar Dedi.

BH pun menyatakan kesiapannya menandatangani surat pernyataan resmi.

Program pelatihan karakter yang dipimpin oleh Dedi Mulyadi selama ini memang banyak menuai respons positif dari masyarakat. Sebanyak 273 pelajar sebelumnya telah dipulangkan setelah menjalani pelatihan selama dua pekan di Dodik Bela Negara, Lembang, Kabupaten Bandung Barat.

Program ini dikhususkan bagi pelajar bermasalah seperti pengguna narkoba, pelaku tawuran, pelajar tidak disiplin, dan remaja yang dinilai kehilangan arah oleh orang tuanya.

“Saya tidak memaksa. Semua anak yang masuk ke barak adalah atas izin dan kesukarelaan orang tua. Ini bagian dari tugas moral dan tanggung jawab negara,” ujar Dedi.

Ia menambahkan bahwa dirinya juga menjalankan amanat dari Presiden untuk menyelamatkan anak-anak Indonesia dari jerat narkoba dan kerusakan mental akibat lingkungan buruk.

Kebijakan Dedi Mulyadi ini mendapat dukungan luas dari publik, meski belum semua daerah mau menerapkan metode serupa. Banyak yang menilai pendekatan humanis dan tegas seperti ini bisa menjadi solusi bagi remaja yang mulai terjerumus pada perilaku menyimpang.

Kini, pelajar asal OKI itu resmi dititipkan di barak militer. Harapan orang tuanya sederhana: agar sang anak bisa kembali ke jalan yang benar dan memiliki masa depan seperti kakaknya—mengabdi untuk negeri.

“Insya Allah bisa sembuh, Pak. Kami serahkan anak kami dengan ikhlas,” ucap BH, penuh harap.

Penilaian Para Pakar: Jalan Tengah Antara Disiplin dan Rehabilitasi

Program pelatihan karakter di barak militer yang digagas Dedi Mulyadi menuai berbagai penilaian dari para ahli, baik dari aspek psikologi, pendidikan, maupun hukum.

Dr. Rani Oktaviani, M.Psi., Psikolog Klinis Anak dan Remaja, menyebut langkah orang tua pelajar asal OKI ini sebagai “tindakan preventif sekaligus korektif yang mencerminkan keputusasaan dalam upaya penyelamatan anak.”

“Orang tua memilih pendekatan semi-militer karena lingkungan rumah sudah tidak mampu lagi menjadi tempat rehabilitasi yang efektif. Ini bukan solusi jangka panjang, tapi bisa jadi ‘jeda’ yang penting untuk memutus siklus adiksi,” jelas Rani.

Namun, ia juga menekankan pentingnya pendampingan psikologis selama masa pelatihan, agar trauma dan rasa bersalah pada anak tidak berkembang menjadi luka emosional yang lebih dalam.

Dosen pendidikan karakter dari Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), Dr. Hendrawan Yusuf, menilai program ini dapat berdampak positif bila dilakukan dengan prinsip non-punitif.

“Selama tidak ada kekerasan fisik dan mental, pelatihan semi-militer bisa mengembalikan ritme hidup disiplin pada remaja yang kehilangan arah. Namun, tetap harus dipastikan bahwa aspek edukatif dan pendekatan psikososial tetap dominan,” kata Hendrawan.

Ia menambahkan bahwa Dedi Mulyadi telah membuka ruang dialog yang baik antara negara dan keluarga dalam membina generasi muda.

Pengamat kebijakan publik dari Universitas Padjadjaran, Dr. Rian Aditya, menyebut kebijakan ini sebagai bentuk respons negara terhadap darurat narkoba remaja.

“Ketika sistem formal gagal menjangkau, negara perlu hadir dalam bentuk alternatif. Tapi jangan lupa, ini harus disertai pengawasan ketat dan mekanisme evaluasi. Jika tidak, bisa jadi celah pelanggaran HAM,” ujarnya.

Ia mengapresiasi langkah transparan Dedi Mulyadi yang meminta surat pernyataan dari orang tua dan tidak memaksakan keikutsertaan.

Namun tidak semua kalangan mendukung sepenuhnya. Laras Sasmita, dari lembaga Advokasi Rakyat untuk HAM (ARAH), mengingatkan bahwa kebijakan semacam ini harus tetap menjunjung tinggi hak anak.

“Remaja bermasalah bukan kriminal. Jangan sampai barak berubah fungsi jadi tempat pengasingan. Negara harus memastikan pendekatan yang digunakan berbasis pemulihan, bukan penghukuman,” kata Laras.

Ia menyarankan agar ada evaluasi berkala yang melibatkan psikolog, pendidik, dan perwakilan masyarakat sipil.

Langkah orang tua pelajar dari OKI dan kebijakan Dedi Mulyadi menempatkan kita pada perdebatan yang sehat: bagaimana menyelamatkan remaja tanpa melanggar haknya sebagai anak. Dalam konteks darurat narkoba dan krisis moral remaja, pendekatan berbasis kedisiplinan yang terukur bisa menjadi jalan tengah—selama dilakukan dengan pendampingan dan pengawasan yang manusiawi.

“Barak tidak akan mengubah anak dalam semalam. Tapi bisa menjadi titik balik, jika semua pihak—orang tua, negara, dan anak itu sendiri—sama-sama serius ingin sembuh.” – Dr. Rani Oktaviani, Psikolog Anak. (TIM/Red)

Author :
RELATED POSTS